Pro-Kontra Urgensi Proyek Revisi Sejarah Nasional Indonesia, Mengapa Harus Dikebut?

Proyek revisi sejarah nasional Indonesia (SNI) menuai pro dan kontra antara sejumlah tokoh dengan pemerintah selaku penggagas rencana tersebut.
Akbar Evandio,Annisa Nurul Amara
Kamis, 22 Mei 2025 | 07:30
Politisi Partai Gerindra Fadli Zon saat tiba di kediaman Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Politisi Partai Gerindra Fadli Zon saat tiba di kediaman Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Proyek revisi sejarah nasional Indonesia (SNI) menuai pro dan kontra antara sejumlah tokoh dengan pemerintah selaku penggagas rencana tersebut.

Rencana itu mendapat banyak penolak baik itu dari kalangan akademisi, sejarawan, hingga aktivis. Penolakan itu langsung disampaikan di ruang rapat Komisi X DPR. 

Kala itu, para tokoh tersebut memberi masukan terhadap rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah nasional yang rencananya akan ditebitkan pada Agustus 2025.

Penolakan datang dari perkumpulan AKSI (Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia) yang didalamnya menaungi sejumlah tokoh seperti mantan Jaksa Agung era Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Marzuki Darusman, sejarawan Asvi Warman Adam, hingga Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid.

Marzuki bersama AKSI curiga bahwa proses revisi sejarah yang sedang berlangsung bertujuan untuk merekayasa masa lalu bangsa Indonesia dengan tafsir tunggal. Pemerintah, kata dia, juga ingin menegakkan suatu rekonstruksi sejarah tertentu, sehingga melahirkan ilusi bahwa pemerintah seolah mendapat mandat bangsa untuk menegakkan sejarah yang dirancangnya.

“Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa,” beber Marzuki.

Sejak pertama kali diterbitkan pada 1975, SNI sejatinya pernah beberapa kali mengalami revisi. SNI pernah direvisi pada tahun 1984. Ada sejumlah substansi yang direvisi, penekanan tentang peran Orde Baru diperbanyak pada waktu itu.

Pada era reformasi, gugatan terhadap sejarah resmi Orde Baru banyak dilakukan oleh sejarawan. Sejarawan UGM, Bambang Purwanto, menyerukan tentang dekonstruksi historiografi. Dia menerbitkan buku yang berjudul ‘Gagalnya Historiografi Indonesiasentris’.

Dia bersama dengan Henk Schulte Nordholt dan Ratna Saptari, juga menerbitkan buku berjudul Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Buku ini berisi gugatan terhadap narasi besar tentang sejarah dan memperhatikan tema-tema marjinal yang selama ini dikesampingkan dalam narasi resmi pemerintah. Selain itu, sejarawan Aswi Warman Adam, menyebarkan ide untuk meluruskan historiografi Indonesia.

Halaman
  1. 1
  2. 2
  3. 3

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bisnis Plus logo

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro