Bisnis.com, Jakarta — Pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 11/2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia akhirnya mencabut gugatan dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Dua orang penggugat UU Kejaksaan itu bernama Stepanus Febyan Babaro dan Henemia Hotmauli Purba. Keduanya telah mengajukan permohonan uji materi ihwal frasa Atas Izin Jaksa Agung yang dimuat di dalam Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan.
Ketentuan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan menyebutkan bahwa proses pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap seorang jaksa hanya dapat dilakukan atas izin dari Jaksa Agung.
Stepanus dan Henemia tidak menjelaskan lebih lanjut alasan pihaknya langsung cabut permohonan uji materi itu ketika digelar sidang perdana pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 UU Kejaksaan.
Sebelumnya, pada persidangan MK, Rabu 24 April 2025, penasihat hukum kedua pemohon yaitu Leonardo Olefins Hamonangan, menyatakan ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Ia pun merujuk pada Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 yang mengatur teknis pemberian izin tersebut.
“Ketika proses penindakan terhadap jaksa bergantung pada izin dari Jaksa Agung, sangat mungkin terjadi konflik kepentingan. Apalagi jika jaksa yang diperiksa memiliki kedekatan dengan pimpinan,” ujar Leonardo dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Baca Juga
Sebagai bukti, Pemohon melampirkan kasus dugaan tindak pidana asusila yang diduga dilakukan oleh seorang jaksa berinisial AJ di Kejati Kalimantan Barat pada 2018.
Kasus tersebut dinilai telah mencerminkan adanya hambatan dalam penegakan hukum terhadap aparat penegak hukum sendiri, mengingat hingga kini belum ada kejelasan mengenai perkembangan penanganannya.
Tidak hanya itu, Leonardo juga menyoroti ketimpangan antar-lembaga penegak hukum akibat aturan ini.
"Kepolisian atau KPK tidak memiliki mekanisme serupa dan bisa diperiksa secara langsung. Sementara pemeriksaan terhadap jaksa harus melewati izin Jaksa Agung. Akibatnya, proses penanganan kasus yang melibatkan jaksa bisa terhambat dan menimbulkan gesekan antar-lembaga,” ungkapnya.
Kemudian, mekanisme izin dari Jaksa Agung juga berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik atau pribadi.
"Tidak ada batas waktu yang pasti dalam proses pemberian izin, sehingga bisa menjadi celah bagi oknum jaksa untuk menghindar dari proses hukum,” tambah Leonardo.
Atas dasar itu, para Pemohon meminta MK menyatakan frasa “atas izin Jaksa Agung” dalam Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.