Kontroversi Tax Amnesty Jilid III, Siapa yang Diuntungkan?

Program pengampunan pajak tidak terbukti memperbaiki struktur penerimaan pajak. Siapa yang diuntungkan dari kebijakan tersebut?
Logo Tax Amnesty atau program pengampunan pajak. / dok. Pemkab Manggarai
Logo Tax Amnesty atau program pengampunan pajak. / dok. Pemkab Manggarai

Bisnis.com, JAKARTA -- Tax amnesty atau pengampunan pajak semula adalah salah satu terobosan kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di bidang perpajakan. Implementasi kebijakan tersebut merupakan rekonsiliasi antara wajib pajak dengan pemerintah.

Dengan kata lain, pemerintah bisa mendapatkan dana dalam sekejap untuk melanjutkan pembangunan. Sementara bagi WP, tax amnesty bisa menjadi peluang untuk memperbaki kepatuhan tanpa harus takut dikejar-kejar sanksi yang tinggi.

Semula kebijakan tersebut hanya berlangsung sekali seumur hidup. Namun belakangan ini pemerintah dan DPR justru telah melaksanakan tax amnesty jilid kedua dan mewacanakan pengampunan pajak jilid ketiga. Wacana pengampunan pajak jilid 3 terjadi pada awal pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Adapun inisiasi tax amnesty jilid III adalah Komisi XI DPR. Ketua Komisi XI DPR Misbakhun merasa perlu pemberlakuan kembali program tax amnesty untuk mengawal berbagai visi misi pemerintah baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Dia menyatakan bahwa DPR, terkhusus Komisi XI, akan turut membantu mengawal berbagai visi misi pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Jika salah satu cara mencapai visi misi dengan tax amnesty maka Komisi XI akan mendukungnya.

Misbakhun menjelaskan bahwa pemerintah dan DPR akan tetap terus berupaya melakukan pembinaan agar wajib pajak tetap patuh. Di saat yang bersamaan, sambungnya, mereka juga ingin memberi peluang kepada orang yang menghindari pajak agar ke depan bisa memperbaiki diri.

"Jangan sampai orang menghindar terus dari pajak, tapi tidak ada jalan keluar untuk mengampuni, maka amnesty ini salah satu jalan keluar," jelasnya di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

Adapun wacana tax amnesty jilid ketiga mencuat setelah DPR mengesahkan program legislasi nasional alias Prolegnas yang salah satunya berisi amandemen Undang-undang Tax Amnesty. 

Sebelum wacana TA muncul, pada akhir pemerintahan Jokowi lalu, pemerintah juga sedianya akan menginiasi pembentukan Family Office di Bali. Tujuan Family Office sejatinya sama dengan Tax Amnesty, yakni menarik dana global ke dalam negeri, hanya saja asal-usul dana Family Office tidak terbatas dana milik WNI.

Namun demikian, wacana Family Office yang sempat muncul itu akhirnya meredup seiring dengan lengsernya Jokowi dari kursi kepresidenan. 

TA Jilid 1 Tidak Efektif?

Selama sembilan bulan pelaksanaan kebijakan, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun yang Rp1.036,7 triliun di antaranya berasal luar negeri. Selain itu, otoritas pajak juga mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun.

Kendati demikian, pengampunan pajak tak hanya menyisakan cerita manis. Bisnis mencatat, dibalik limpahan data ribuan triliun tersebut ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. 

Dari sisi tingkat partisipasi misalnya, jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan pajak kurang dai 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta.

Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.

Tak heran sebenarnya jika hampir 6 tahun pascapelaksanaan tax amnesty, tingkat kepatuhan WP juga masih jauh panggang dari api. Tak banyak berubah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi data kepatuhan pajak menunjukkan rasio kepatuhan WP masih pada angka 83%. Angka itu masih di bawah standar yang ditetapkan OECD yakni pada angka 85%.

Selain itu, tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi non karyawan juga tidak melonjak signifikan. Kontribusi mereka ke penerimaan negara juga tidak lebih dari 1% dari total penerimaan pajak negara.

Satu hal lagi, menurut data OECD, rasio pajak Indonesia juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia Pasifik. Apalagi rata-rata OECD yang bisa di atas 30% dari produk domestik bruto. Rasio pajak RI paling hanya di kisaran 10% sampai 11-an persen.

Dana Bebas Keluar Masuk 

Sebagai penganut rezim devisa bebas, dana asal RI sejatinya bisa keluar masuk ke negara manapun. Salah satu negara yang menjadi tempat tujuan dana asal Indonesia adalah Singapura.

Lebih dari Rp3.500 triliun uang asal Indonesia mengalir ke Singapura selama periode Semester 1/2024. Lonjakan transaksi tertinggi terjadi pada bulan April hingga Mei 2024 dengan nominal lebih dari Rp2.000 triliun.

Tidak jelas asal-usul uang tersebut. Pasalnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) enggan menjelaskan secara perinci apakah duit yang ditransfer ke negeri Jiran itu berasal dari proses bisnis biasa atau bagian dari praktik tindak pidana pencucian uang maupun penghindaran pajak.

Namun demikian, dalam catatan Bisnis, Singapura merupakan negara yang telah lama memiliki reputasi sebagai tempat para konglomerat atau pelaku kejahatan keuangan asal Indonesia menyimpan asetnya. "Kami enggak bisa komentar untuk itu," ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.

Dalam catatan PPATK, jumlah dana yang ditransfer dari Indonesia ke Singapura selama periode Januari hingga Juni 2024 mencapai Rp3.595,95 triliun. Jumlah itu lebih besar dibandingkan dengan Amerika Serikat dan China yang masing-masing sebanyak Rp781,8 triliun dan China sebesar Rp466,1 triliun.

Selain itu, jika dibandingkan dengan nilai transaksi pada semester 1/2023 yang hanya sebesar Rp1.249,5 triliun, jumlah uang yang ditransfer ke Singapura mengalami lonjakan sebesar 187,7%.

Perinciannya, total transaksi transfer dana ke Singapura selama semester 1/2024 antara lain, Rp221,15 triliun pada Januari, Rp194 triliun pada Februari, dan pada bulan Maret 2024 baik menjadi Rp195 triliun.

Selanjutnya, pada bulan April 2024 terjadi lonjakan transfer dana ke Singapura yang cukup signifikan menjadi Rp923,6 triliun. Lonjakan transfer dana ke Singapura (outgoing) berlanjut pada bulan Mei menjadi 1.792,5 triliun. Sementara pada bulan Juni 2024, terjadi penurunan transaksi ke angka Rp209,7 triliun.

Lonjakan dana yang ditransfer ke Singapura itu pada bulan April dan Mei bertepatan dengan musim pembagian dividen. Pada saat yang sama publik waktu itu sedang dipicu kecemasan menyusul munculnya sengketa hasil pemilihan presiden alias Pilpres 2024. 

Dalam catatan Bisnis, Singapura dikenal sebagai salah satu negara tujuan dana dari Indonesia. Namun demikian, transfer dana tersebut tidak melulu terkait pencucian uang. Apalagi Singapura merupakan salah satu negara asal investor terbesar di Indonesia.

Hal itu terkonfirmasi dari laporan transfer dana dari luar negeri yang masuk (incoming) ke Indonesia. Hanya saja angkanya tidak sebesar dana yang keluar Indonesia ke Singapura. 

Data PPATK mengungkap bahwa selama semester 1/2024, jumlah transfer dana dari Singapura yang masuk ke Indonesia atau incoming mencapai Rp1.313,8 triliun. Peringkat kedua adalah Amerika Serikat sebanyak Rp783,9 triliun. Sedangkan peringkat ketiga justru Hong Kong yang mencapai Rp360,6 triliun.

Adapun data dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) dalam dua kuartal terakhir 2024 mengungkap nilai investasi dari Singapura selama semester 1/2024 mencapai US$4,24 miliar. Peringkat kedua adalah Hong Kong senilai US$1,89 miliar, China Rp1,87 miliar, dan Jepang US$976,5 juta.

Hasrat Sesaat?

Sementara itu, Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menilai tidak ada urgensi menerapkan tax amnesty jilid III. Terlebih, program serupa sudah pernah diberlakukan pada 2016 dan 2022.

Menurut Eko, tax amnesty jilid III tidak bertujuan untuk mendata para orang kaya yang belum mengungkap hartanya seperti tujuan awal program pengampunan pajak. Dia mencontohkan, peserta tax amnesty jilid II (2022) jauh lebih sedikit dibandingkan tax amnesty jilid I (2016—2017).

Artinya, sudah banyak konglomerat yang melaporkan harta kekayaanya yang belum terungkap. Oleh sebab itu, dia tidak yakin jumlah pendaftar tax amnesty jilid III akan lebih baik dari jilid II.

Eko pun meyakini pemerintah hanya ingin mendapatkan dana segar jumbo secara instan lewat uang tebusan pengampunan pajak.

"Ini kan saking terpaksanya pemerintah harus nambah penerimaan sehingga hal-hal yang secara teoritis sebetulnya tidak bisa dilakukan dalam kurun waktu jangka menengah ini terpaksa dilakukan," jelasnya usai acara Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 di Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bisnis Plus logo

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro