Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan resmi menetapkan Hari Kebudayaan pada 17 Oktober, tertuang dalam surat keputusan menteri (Kepmen) No.162/M/2025.
Adapun, Kepmen tersebut memuat tiga butir keputusan dari Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon. Pertama, menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan. Kedua, Hari Kebudayaan bukanlah hari libur. Ketiga, aturan berlaku sejak 7 Juli 2025.
Sekadar informasi, inisiator penetapan Hari Kebudayaan itu adalah para seniman dan pemerhati budaya yang tergabung dalam Tim Garuda 9 Plus. Mereka adalah Nano Asmorodono, Achmad Charris Zubair, Rahadi Saptoto Abro, Bimo Wiwohatmo, Esti Wuryani, Isti Sri Rahayu, Arya Ariyanto, Yani Saptohoedojo, Yati Pesek, dan Oni Wantara.
Pada 8 Desember 2024, Nano Asmorodono, pengusul pertama Hari Kebudayaan berpandangan setiap bagian dari budaya seperti keris, tari, teater memiliki harinya tersendiri. Namun, rumah besarnya alias kebudayaan justru tidak memiliki harinya sendiri. Sehingga, pemerhati budaya bertemu Fadli Zon untuk mengusulkan Hari Kebudayaan.
“Saya pokoknya [bilang] Pak Menteri, menterinya siapa nggak tahu tadinya. ‘Pak Menteri kebudayaan itu mau ke Yogya, Pak Nano’. Oke kalau begitu kita harus ketemu Pak Menteri, aku akan menyampaikan itu [usulan], tolong aku dibantu untuk ketemu Pak Menteri,” ceritanya saat dihubungi Bisnis, dikutip Minggu (20/7/2025).
Dari Tim 9 Naga Jadi Tim Garuda 9 Plus
Baca Juga
Ketika sembilan anggota berhasil dikumpulkan, mereka bersepakat menggunakan lembaga Paguyuban Seni Tradisi DIY (Pasri) karena sudah memiliki legalitas. Pasri inilah yang Nano jadikan sebagai aktor ‘plus’.
“Saya namakan 9 naga, nggak main-main, bersurat kami pakai stempel dan tanda tangan, Pasri itu bersurat ke Pak Menteri. Kami dapat info bahwa kami diterima, tapi Pak Menteri mampir waktunya tidak panjang. Oke kami persiapkan itu di Resto Sekar Wangi tanggal 25 Desember 2024,” jelasnya.
Pada momen itu, Nano memperkenalkan dirinya dan menjelaskan usulan Hari Kebudayaan. Fadli Zon kala itu menerimanya, dan menyampaikan beberapa syarat yang perlu dipenuhi seperti kajian akademisnya, setidaknya dua kali Focus Group Discussion (FGD) dengan seluruh Indonesia, dan harus ada sosialisasi.
Saat itu pula, lanjut Nano, salah satu staf Fadli Zon menyarankan agar nama Tim 9 naga diubah, karena khawatir bila tetap dinamakan itu akan menjadi polemik. Disarankan pula untuk berganti menjadi Garuda degan filosofi terbang tinggi.
“Ya saya terima aja kan, saya nggak tau, bukan orang politik, saya seniman. Mungkin lebih baik Garuda daripada 9 naga, waktu itu saya [milih naga] hanya biar viral, mikir biar nge-top gitu loh. Pas Garuda ‘woh iya’ karena kami akan mengusulkan di hari itu yang ada kaitannya dengan Garuda,” ucapnya.
Dia bercerita penamaan awal dimaknai, angka 9 sebagai angka misterius yang besar. "Dalam agama ada Wali Songo, itu jadi tolak ukur kami, mantep. Pasri dan yang mendukung itu saya anggap plus,” tutur Nano.
Lebih jauh, Nano mengaku syarat yang diberikan Fadli Zon cukup berat bagi timnya. Meski begitu seluruh tim berupaya untuk mewujudkan seperti membentuk FGD, dengan mengundang Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Yogyakarta (IKPM).
“Kalau saya mengundang se-Indonesia itu dari mana, kami nggak punya biaya. Kami berangkat dari 0, kami tidak punya biaya, kami patungan. Sembilan orang patungannya masing-masing Rp1 juta,” beber Nano.
Setelah semua proses selesai, ujar Nano, Tim Garuda 9 Plus mengirimkan proposal kajian akademis ke Kementerian Kebudayaan. Saat itu pula ada syarat tambahan lagi yaitu perlu FGD dengan dewan-dewan kebudayaan atau dinas-dinas kebudayaan.
“Terus sudah selesai kami diundang ke Jakarta pada 20-an Januari. Tapi kami nggak bisa dateng, karena tidak punya uang untuk transport,” ungkap Nano.
Kementerian Kebudayaan akhirnya mengadakan pertemuan daring untuk membahas kajian akademis yang sudah disusun Tim Garuda 9 Plus. Dia juga bercerita, bahkan inisiator dianggap mencari muka karena tanggal tersebut bertepatan dengan ulang tahun Presiden Prabowo Subianto.